SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Bagaimana Injil Mengubah Istri

Beda dengan di tempat kerja (atau bahkan di gereja), di rumah kita dapat menjadi diri kita apa adanya. Tidak perlu kosmetik, baik secara literal maupun figuratif, karena toh tidak ada ekspektasi untuk tampil dengan standar tertentu. Di rumah lah warna asli kita nyata terlihat – sikap kita, perkataan kita, emosi kita.

Itu alasan mengapa kalau kita meng-claim bahwa Injil Kristus sungguh telah mengubah kita, coba cek dulu apakah orang di rumah akan setuju dengan claim tersebut! Rasul Paulus paham benar akan hal ini. Dalam surat-suratnya (Kolose 3:18-21; Efesus 5:21-6:4), ia menekankan bahwa Injil pasti mengubah cara suami-istri dan orang tua-anak saling berelasi.

Kalau bukan karena Injil, istri tunduk pada suami, misalnya, sangat sulit diterapkan bagi para istri abad ke-1. Di zaman itu, budaya Yahudi dan Roma sangat merendahkan martabat perempuan. Setelah mereka menjadi Kristen, kemerdekaan yang dialami oleh perempuan di dalam Kristus (Galatia 3:28) memberi mereka alasan yang kuat untuk independen dari penjajahan laki-laki. Merdeka!

Namun Paulus mengajarkan bahwa komitmen istri mendukung suami dengan menundukkan dirinya merefleksikan komitmen istri kepada Kristus. Meski statusnya dengan suami sama di mata Allah, ia dengan sukarela dan sukacita taat kepada suaminya. Sebagaimana Kristus, pribadi kedua yang setara dengan Allah Bapa, namun sepenuhnya tunduk kepada Bapa-Nya.

Konkritnya, istri dengan senang hati tunduk bukan karena suaminya pandai cari duit atau suaminya orang yang tegas berwibawa, tapi karena itulah sikap yang Kristus teladankan di hadapan Bapa-Nya dan sekarang tuntut dari para istri.

Ia tahu inilah disain Allah dalam penciptaan, disain yang pasti membawa syalom dalam keluarga – harmonis dan bahagia. Meski ia tahu tunduk ini tidak mutlak 100%. Bila suami berdosa, ia perlu memilih untuk lebih tunduk kepada Allah dibanding suami.

Tunduk ini tentu jauh lebih mudah apabila suami mengasihi istri dengan penuh pengorbanan, sebagaimana Kristus mengasihi dengan mengorbankan diri di atas salib bagi umat-Nya. Namun ada kalanya (sering bahkan!) istri harus mengelus dada untuk dapat terus berusaha mentaati firman yang satu ini, meski suaminya menyebalkan. Bagaimana caranya?

Kalau hati para istri telah disentuh, dilumerkan, dan dibentuk ulang oleh Injil Kristus. Semua hal yang seorang istri harapkan dari suaminya – kasih, perhatian, pengertian, pengorbanan, pujian – telah ia terima secara penuh dari Kristus saat Ia mati di atas salib baginya. Jadi ia tidak perlu menuntut itu dari suaminya.

Mustahil memang menuntut hal-hal tersebut dari manusia. Karena hanya Tuhan Yesus yang mampu memuaskan hati kita. Menuntut suami untuk memenuhi itu hanyalah menjadikan dia juruselamat boneka yang mandul. Saat istri merasa semua itu ia telah peroleh dan terus nikmati dari Kristus, ia berhenti menuntut, dan mulai membagikannya kepada suaminya. Ia tidak mudah tersinggung saat suaminya salah paham terhadapnya, karena kasih Kristus membalut egonya yang terluka. Tak ada caci-maki saat suaminya terbukti bersalah terhadapnya, karena istrinya sadar bahwa setiap kali ia bersalah kepada Kristus, yang ia terima adalah pengampunan dan pemulihan, bukan caci maki.

Jadi kalau ada pasangan suami-istri yang belum percaya bertanya, “Injil Kristus itu apa sih?”, suami-istri Kristen seharusnya menjawab, “Mau tahu? Ayo datang ke rumah. Tinggal 2-3 hari di rumah kami. Coba perhatikan cara kami berelasi, membuat keputusan sulit, menangani konflik rumah tangga, mendidik anak. Relasi kami sebagai suami-istri merefleksikan relasi Kristus dengan gereja-Nya. Kristus berkorban bagi gereja-Nya, dan gereja-Nya lalu tunduk dengan sukacita kepada Kristus. Itu sebabnya pernikahan kami adalah papan reklame Injil Kristus.”