SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Ibadah Misional

Mission exists because worship doesn’t, demikian kalimat terkenal yang pernah ditulis John Piper. Artinya, selama masih ada orang yang belum menyembah Tuhan Allah yang sejati di dalam Kristus, kita perlu melakukan pekerjaan misi. Jadi ibadah adalah tujuan akhir misi. Tetapi jangan lupa, ibadah juga adalah sarana misi. Yang saya maksud bukan ibadah secara luas, karena seluruh aspek hidup kita adalah ibadah (misal: pekerjaan, hobby). Yang saya maksud adalah ibadah hari Minggu. Sejak di Perjanjian Lama, Allah memerintahkan ibadah umat-Nya dilakukan di antara bangsa-bangsa yang belum mengenal Allah. ‘Bersyukurlah kepada TUHAN, serukanlah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa! Bernyanyilah bagi-Nya, bermazmurlah bagi-Nya, percakapkanlah segala perbuatan- Nya yang ajaib!’ (Mazmur 105:1-2). Di Perjanjian Baru, Petrus memberitahu umat Allah untuk ‘memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia’ (1 Petrus 2:9). Agar ibadah Minggu kita menjadi ibadah yang misional, minimal ada tiga prinsip yang harus dilakukan. Ketiga prinsip ini bagai altar, kayu, dan minyak yang kita harus siapkan, bila kita berharap Tuhan akan melakukan bagian-Nya dan menurunkan api dari surga.

1. Comprehensible – Ibadah Minggu dapat dipahami oleh orang yang belum percaya.
Dalam 1 Korintus 14:23-26, Paulus memberi prinsip tentang penggunaan bahasa Roh. Prinsip yang sama berlaku bagi bagian lain dalam ibadah. Setiap aspek ibadah perlu dipahami, atau orang Kristen dianggap gila oleh orang non-Kristen! Misal, berdoa buka suara dengan keras dan sama-sama, memakai jargon teologis yang muluk-muluk (mis: ‘dasar mortifikasi dosa adalah justifikasi iman yang monergistik’). Sebaliknya kita perlu menjelaskan elemen liturgi, mengapa kita melakukan pengakuan dosa atau perjamuan kudus. Kalau kita berasumsi bahwa ada orang yang tidak percaya dalam ibadah kita, maka mereka akan datang. Kalau kita tidak pernah berasumsi tersebut, mereka tidak akan pernah datang – karena ibadah kita dianggap eksklusif, membingungkan, aneh, dan kaku. Tujuannya bukan membuat orang yang belum percaya comfortable, tetapi membuat ibadah comprehensible.

2. Excellence – Ibadah Minggu direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.
Bukan saja karena hari ini excellence dalam experience economy menjadi standar dan ekspektasi kita (mis: pengalaman nonton bioskop atau konser harus wow), tetapi juga karena kita melayani Allah yang excellent. Seorang aktivis gereja yang sudah bertahun-tahun dalam komunitas akan toleran terhadap pemain musik yang salah kunci atau pengkotbah yang bertele-tele, tetapi seorang yang belum percaya pertama kali datang ibadah tidak akan pernah kembali. Ibadah yang excellent secara natural akan menjadi ibadah misional, menjadi daya tarik orang untuk datang.

3. Gospel – Ibadah Minggu harus mempresentasikan Injil.
Allah ingin agar umat-Nya tidak hanya memberitakan Injil, tetapi merayakan Injil tersebut setiap Minggu dan mengundang orang yang belum percaya untuk turut menikmati perayaan tersebut. Karena hanya Injil yang dapat sekaligus mempertobatkan orang yang belum percaya dan membangun orang percaya. Saat orang belum percaya dengan mudah menangkap uraian Injil dalam doa, lagu, dan kotbah, maka ‘segala rahasia yang terkandung di dalam hatinya akan menjadi nyata, sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku: ‘Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu.’ (1 Kor 14:25). Demikian juga orang yang percaya dibangun imannya (1 Kor 14:26). Misal waktu lagu pujian ‘In Christ Alone’ dinyanyikan, orang yang belum percaya sadar bahwa mereka hidup tanpa pengharapan di luar Injil Kristus, dan orang percaya sadar mereka hidup diliputi rasa bersalah karena tidak bersandar pada Injil Kristus.

Kalau ibadah Minggu berfokus pada penginjilan, ibadah tersebut akan membuat bosan orang percaya. Kalau ibadah Minggu berfokus pada pengajaran, ibadah tersebut akan membuat bosan orang yang belum percaya. Namun kalau ibadah Minggu berfokus pada Injil Kristus Yesus, ibadah tersebut akan sekaligus mengajar orang percaya dan menantang orang yang belum percaya.

Mari kita bertanya, ‘Berapa orang yang belum percaya (seekers) yang hadir dalam ibadah Minggu kita?’ Bagaimana mereka bisa hadir kalau tidak ada orang percaya yang mengajak mereka. Dan bagaimana bisa mengajak kalau mereka berpikir bahwa ibadah Minggu akan membosankan dan membingungkan bagi orang yang tidak percaya?