SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Gereja Hampir Punah!

Beberapa tahun lalu, saya membaca sebuah kalimat yang agak mengganggu: "The church, as always, is only one generation away from extinction”.

Gereja hampir punah! Di negara maju seperti Australia, gereja semakin kosong dan sepi. The National Church Life Survey yang dilakukan 5 tahun sekali di tahun 2001 melaporkan masa depan yang suram bagi gereja: “Sangat kecil kemungkinan gereja-gereja mainstream yang dipadati dengan jemaat lanjut usia untuk dapat digantikan oleh orang-orang muda.” Trend ini semakin menguat hari ini.

Generasi muda di Australia mandeg ke gereja saat mereka berusia 17 tahun, gereja akan terus menyusut dan . . . lenyap! Mengapa hal ini terjadi?

Karena gereja dianggap tidak relevan, tidak menjawab kebutuhan zaman. Gereja dianggap 3K: kuno, kaku, dan kering. Untuk meresponi ini, gereja mencoba menjadi relevan dengan multimedia presentation, lagu kontemporer, tim musik full band, kotbah yang lucu, enak didengar dan tidak menuntut perubahan hidup, dan beragam spiritual entertainment lainnya.

Yang menarik, rasul Paulus menawarkan solusi yang samasekali berbeda. Justru ditengah banyak orang yang meninggalkan Tuhan, Rasul Paulus menasihati penerusnya Timotius untuk meneruskan ajaran yang sehat secara turun-temurun: “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat” (2 Tim 1:13). David Wells dalam bukunya God in the Wasteland menulis,

“The fundamental problem in the evangelical world today is not inadequate technique, insufficient organization, or antiquated music . . . but that His truth is too distant, His grace is too ordinary, His judgment is too benign, His gospel is too easy.”

Dengan nada yang sama, John Stott menulis:

“I’ve discovered that it’s not hard to biblical if you don't care about being contemporary. And it’s certainly not hard to be contemporary if you don't care about being biblical. Being biblical and temporary – that’s the art of Christian communication.”

Inilah tantangan kita: Menjadi biblikal dan kontemporer.

Gereja relevan bukan karena tata ibadahnya, musiknya, kulturnya, atau teknologinya. Gereja relevan saat setiap anggotanya hadir sebagai komunitas alternatif yang menampakkan Kristus secara otentik lewat perkataan dan perbuatan. Gereja relevan saat kita turut bergulat dengan dunia yang gelap bersama segudang masalah manusia abad ke-21: kekosongan hidup, krisis identitas, hidup untuk karir, kemerotan moral, individualisme, gila harta, eksploitasi seks, kemiskinan, hak asasi manusia, dst.