SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Pikiranmu seperti Seorang Pelacur

Sejak zaman pre-modern, para intelektualis tersohor seperti Socrates, Plato, dan Aristotle telah aktif menentang worldview dunia yang menjadi ciri utama dalam budaya Yunani kuno. Meski mereka bertiga tidak mengenal Allah, namun mereka menerima anugerah umum (common grace) untuk memaparkan kebenaran yang merujuk kepada Allah.

Socrates dipaksa untuk meminum hemlock karena dia beragumentasi bahwa tidak ada ilah-ilah; yang ada hanyalah ‘Allah’ yang esa sumber segala kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Plato lalu mengembangkan ide classical idealism bahwa segala idealisme manusia bersumber dari idealisme transenden dalam pikiran Tuhan.

Hal ini dikembangkan oleh Aristotle yang menelurkan konsep the Unmoveable Mover, Tuhan yang transenden sumber dari realita eksternal yang ada dalam dunia, tidak dicipta dan digerakkan oleh siapapun.

Dengan fondasi yang sudah dibangun sedemikian, kita membaca dalam Kisah Para Rasul perjalanan misionaris Paulus kepada Yunani kuno yang telah siap dituai bagi Injil. Orang-orang saat itu telah familiar dengan konsep eksistensi ‘Allah’ yang transenden, realita spiritual, dan keabadian jiwa. Disini kita mengerti latar belakang Paulus menemukan altar bagi “Allah yang tidak dikenal” yang lalu diperkenalkan oleh Paulus (Kisah 17:23).

Kemudian muncullah Agustinus yang membangun konsep teologi berdasar konsep Plato, dan Thomas Aquinas berdasar konsep dari Aristotle. Kedua paradigma ini – rasionalisme klasik dan Alkitab – menjadi karakteristik dunia Barat berabad-abad kemudian. Ilmu pengetahuan yang mengalami kemajuan drastis di tahun 1600-an sebenarnya berangkat dari dua paradigma: paradigma Alkitab bahwa alam dicipta dengan baik dan teratur oleh seorang Pencipta yang berkepribadian, dan rasionalisme klasik bahwa ada hukum alam rasional yang memerintah seluruh mekanisme jagad raya.

Pendirian universitas-universitas terkenal di dunia dilakukan berdasarkan paradigma ini. Harvard University, misalnya, didirikan pada tahun 1646 memiliki lambang perisai (tanda iman) dengan tulisan Veritas (kebenaran) dan dikelilingi tulisan Pro Christo et Ecclesiae (bagi Kristus dan GerejaNya). Sedangkan tujuannya adalah: "Every one shall consider the main end of his life and studies to know God and Jesus Christ which is eternal life."

Namun sejak abad ke 18, rasionalisme mulai menggerogoti tujuan universitas. Allah digeser dari tahtaNya, seiring dengan merasuknya humanisme sekuler ke sel-sel tubuh universitas. Paradigma Alkitab dicampakkan oleh para ilmuwan. Dan rasio manusia dianggap sebagai ukuran tertinggi kebenaran. Scientific methods diciptakan dengan menihilkan epistemologi diluar rasio manusia. Cendekiawan Kristen yang adalah ‘istri’ sang kebenaran menyeleweng, bergaul liar dengan banyak pria idaman lain (PIL) bernama humanisme, rasionalisme, dan sekulerisme. Tidak heran Martin Luther berkata: “Your reason is like a whore.” (paragraf terakhir diatas diilhami oleh tulisan rekan saya: Yohanes Somawiharja)