SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Imam, Bukan Awam

1

Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9)

Di dalam Kristus Anda adalah seorang imam, bukan seorang awam.

Allah sejak awal ingin bangsa Israel menjadi “kerajaan imam” (Kel 19:1-6). Namun bangsa tegar tengkuk ini tidak mentaati perjanjian dengan Allah. Memberontak, meski telah dibebaskan dengan ajaib dari perbudakan Mesir. Karena dosa mereka, Allah lalu menunjuk orang Lewi menjadi imam, mewakili bangsa Israel mempersembahkan korban penghapusan dosa.

Seluruh prosedur persembahan korban yang super-lengkap yang diperkenalkan Allah menunjuk kepada Kristus. Karena apa yang bangsa Israel gagal lakukan, Yesus Kristus dengan sempurna menggenapinya. Ia Imam Besar Agung kita yang mempersembahkan korban sempurna, yaitu diriNya sendiri, satu kali untuk selamanya untuk seluruh dosa dunia.

Yang menarik, Yeremia dan Yesaya menyatakan bahwa akan datang suatu waktu dimana seluruh umat Allah akan menjadi imam bagi Allah (Yer 31:31-34; Yes 61:6). Kok bisa? Rasul Petrus menulis bahwa setiap orang yang ada di dalam Kristus adalah imam. Demikian juga Yohanes: “Karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita” (Wahyu 5:9-10).

Celakanya, orang Kristen telah terlalu lama keracunan konsep selalu mengganggap diri awam. “Saya kan cuma orang awam, jangan saya deh…” seakan ada kasta-nisasi dalam gereja Tuhan, klergi dan awam. Padahal mereka tidak sadar bahwa kata awam atau “orang biasa yang tidak terpelajar” (Kis 4:13) berasal dari kata idiόtέs yang darinya diturunkan kata idiot. Jadi setiap kali Anda bilang “saya tuh kan awam”, Anda sedang kasih pengumuman “saya kan idiot!”

Padahal Alkitab jelas berkata bahwa kita adalah “imamat Rajani” (1 Pet 2:9), imam dari Raja diatas segala raja. Dan Anda tidak perlu gelar teologi untuk menjadi imam. Anda tidak perlu pakai toga pendeta untuk menjadi imam. Kalau dulu di Perjanjian Lama mereka disebut Levi Priests, maka hari ini kita disebut sebagai Priests in Levi’s. Imam yang tampil dalam keseharian hidup, bergulat dengan berbagai masalah dunia modern (terorisme, kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, dst), dan berdiri sebagai mediator antara dunia dan Allah.

Anda imam, bukan awam. Itu berarti Anda punya akses langsung tanpa perlu pengantara untuk “dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia” (Ibrani 4:16). Doa Anda punya khasiat yang sama dengan Pendeta manapun, karena yang berkuasa bukan pendoanya, tetapi Allah yang kepada-Nya kita berdoa.

Anda imam, bukan awam. Itu berarti Anda harus mempersembahkan setiap aspek hidup Anda kepada Allah. Tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Setiap pagi Anda mempersembahkan mata, mulut, otak, tangan, kaki kita kepada Dia (Roma 12:1-2).

Anda imam, bukan awam. Itu berarti Anda dipanggil untuk “memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia” (1 Pet 2:9) baik di gereja, di rumah, di kantor, di arena publik, dimanapun Anda berada. Tidak peduli apakah Anda pendeta, akuntan, app designer, tukang sapu, atau ibu rumah tangga, Anda perlu memperlakukan pekerjaan keseharian Anda sebagai tindakan ke-imam-an Anda. Sebagai imam, interaksi Anda dengan orang lain tidak lagi melulu basa-basi, karena keluh-kesah orang tersebut menjadi pokok doa Anda.

Saya membayangkan apa yang akan terjadi kalau besok pagi setiap orang Kristen saat bangun mendadak tersentak dan sadar bahwa mereka adalah imam Raja. Kalau dulu imam Harun harus dengan sangat teliti dan hati-hati mempersiapkan dirinya dan seluruh proses persembahan korban di Bait Allah, maka para imam hari ini, pria dan perempuan, pun sama.

Seluruh aktivitas hari itu akan dilakukan dengan khidmat, sepenuh hati, sebaik mungkin. Kerja tidak sembarangan, mendidik anak tidak asal-asalan, ngobrol dengan orang tidak hanya ngalor-ngidul. Semuanya menjadi berarti, karena itu adalah persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah.

1 Comment

Pak Sen, terima kasih. Artikel di atas bagus sekali dan mengingatkan saya untuk mempersiapkan diri selalu menjadi seorang imam. Tuhan memberkati pelayanan dan karya-karya Bapak. Salam dari Bandung!

Leave a Comment

Comments for this post have been disabled.