SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Janda yang Tidak Kenal Menyerah

Perumpamaan tentang janda yang tidak kenal menyerah dan hakim yang lalim (Lukas 18:-18) seringkali disalahmengerti di kalangan orang Kristen. Sepintas kesannya kita diajarkan bahwa kalau kita mau meminta kepada Tuhan, kita harus tidak berhenti-henti minta hal yang sama. Seringkali salah fokusnya terletak pada diri kita sendiri, kita didorong untuk semangat dan jangan menyerah dalam berdoa, karena semakin besar iman dan semangat kita maka semakin besar kemungkinan Tuhan akan ‘menyerah’ (seperti hakim yang lalim) dan akhirnya mengabulkan permohonan kita. Ini adalah penafsiran yang salah besar dan tidak konsisten dengan kesaksian seluruh Alkitab tentang relasi kita dan Tuhan.

Konteks dari perumpamaan ini sudah jelas. Yesus terus menerus mengalami perlawanan dari musuh-musuhnya. Kebanyakan dari mereka, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, selalu merasa diri mereka berada di pihak yang benar dan bagian dari kerajaan Allah. Yesus berulangkali harus mengoreksi dan mengecam kesalahan mereka. Perumpamaan ini diberikan di dalam konteks perdebatan Yesus dan orang-orang Farisi tentang kerajaan Allah. Yesus menekankan bahwa kerajaan Allah sudah datang melalui kehadiran-Nya. “Kerajaan Allah ada di tengah-tengah kamu!” (Lukas 17:21). Yesus, sebagai Raja, adalah kehadiran kerajaan Allah di dunia—sama seperti peran seorang duta besar di negara asing. Ironisnya, orang-orang yang menganggap diri mereka benar ini justru tidak mau atau bahkan menolak Raja yang seharusnya mereka sembah. Itu sebabnya Yesus kemudian menjelaskan bagaimana kedatangan-Nya yang kedua kali akan menunjukkan siapa yang sebetulnya berada di pihak yang benar. Siapa yang sebetulnya berada di dalam kerajaan Allah, dan siapa yang bukan.

Di dalam perumpamaan ini, kata kuncinya adalah vindication, pembenaran. Janda yang tanpa pertolongan hanya meminta satu hal: agar kasusnya dibela atau dibenarkan. Hakim yang lalim—yang tidak takut Allah atau manusia—akhirnya, demi kepentingan dirinya sendiri, membenarkan sijanda yang terus menerus meminta.

Di sini kejeniusan Yesus dalam bertuturcerita nampak: alih-alih berfokus pada rengekan si janda, Yesus berkata, “Dengarkan baik-baik hakim yang lalim itu!” Yesus justru mengarahkan fokuspendengarnya dengan mengkontraskan hakim yang lalim dengan Bapa penuh kasih yang kita miliki. Yesus sedang mengatakan relasi kita dengan Tuhan Allah, jauh lebih penuh kasih dan kepastian dibandingkan relasi si janda dan si hakim. Ia adalah Bapa yang akan membenarkan iman kita di dalam Dia.

Selama kita hidup di dunia ini, sepintas kesannya bahwa iman di dalam Kristus itu remeh, sepele dan seringkali disalahmengerti. Di situlah Yesus mengajarkan kita untuk tidak henti-hentinya berdoa, “Tuhan, tunjukkanlah bahwa imanku di dalam Engkau itu tidak sia-sia. Belalah diriku agar nama-Mu dimuliakan!” Yesus mengatakan bahwa ini adalah doa yang pasti dijawab, mungkin di hidup ini, tapi yang pasti di hidup yang akan datang. Karena kita punya Bapa yang penuh kuasa dan kasih, suatu hari Ia akan membenarkan iman kita.

Apakah isi doa-doa kita selama ini? Kita harus mengakui bukan, bahwa doa kita lebih sering berisi hal-hal yang kita mau dan minta dari Tuhan. Tentu ada tempatnya dan pantas untuk kita meminta kepada Dia segala sesuatu. Tapi kalau dihitung secara proporsi, berapa sering kita meminta agar Tuhan menunjukkan bahwa iman dan kesaksian hidup kita tidak sia-sia? Berapa sering kita meminta agar kerajaan Tuhan, bukan kerajaan pribadi kita, yang dimajukan? Berapa sering kita memohon agar kita semakin rela untuk berkorban demi pekerjaan Tuhan, demi mengasihi orang lain, khususnya mereka yang berseberangan dengan kita?

Mari kita menjadi pendoa-pendoa yang tidak kenal menyerah!