SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Jangan Berdoa Tanpa Iman!

Konon ada sebuah kota kecil yang mulai kehilangan pamornya. Segala bentuk usaha peremajaan dan promosi tidak membuat keadaan kota kecil itu bertambah baik. Tetapi semuanya berubah ketika seorang pemilik bisnis memutuskan untuk membuka kedai minuman. Mungkin ia berpikir orang pasti akan mencari hiburan dan minuman keras, dan kalau itu akan membantu menarik pendatang, mengapa tidak? Namun, keberadaan kedai minuman ini mendapat protes keras dari gereja setempat. Sebagai bentuk protes, mereka memutuskan untuk mengadakan doa semalam suntuk meminta campur tangan Tuhan. Kebetulan di malam yang sama hujan deras mengguyur kota itu diikuti dengan kilat yang saling menyambut. Salah satu kilat menyambar kedai minuman itu sehingga hangus terbakar habis. Pemilik kedai marah dan memutuskan untuk menuntut gereja tersebut ke pengadilan. Ia berpendapat bahwa jemaat gerejalah yang bertanggung jawab di balik kerugian total yang dialaminya. Tetapi, gereja itu pun tidak tinggal diam. Mereka memanggil seorang pengacara untuk membuktikan di pengadilan bahwa mereka sama sekali tidak punya andil dalam perkara ini.
Setelah sang hakim menelaah perkara ini dengan seksama, ia berkomentar, ”Apapun hasil akhir dari persidangan ini, ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri: pemilik kedai minuman percaya akan kuasa doa, tetapi jemaat gereja ini sama sekali tidak!”

Tentunya ada banyak faktor yang membuat kita sulit untuk benar-benar percaya bahwa doa-doa kita didengarkan oleh Tuhan. Berbeda dengan kisah di atas, kebanyakan waktu ‘jawaban’ yang kita harapkan entah tidak pernah kunjung datang atau tidak seperti yang kita bayangkan. Ini disebabkan karena kebanyakan kita mengidentikan doa dengan formula: karena aku meminta maka Tuhan berkewajiban memberi. Atau setidaknya memberikan jawaban. Sehingga di banyak gereja seringkali seolah menjadi slogan bahwa kalau Tuhan menjawab doa kita hanya ada tiga: ya, tidak, atau tunggu dulu. Yes, no, or go slow.

Saya tidak pernah suka konsep seperti itu karena seolah-olah memperlakukan Tuhan seperti mesin penjawab doa yang mengeluarkan jawabannya secara acak. Dan lebih parah lagi, dimensi keakraban: keluhan, ketidakpastian, pujian, ucapan syukur—yang begitu kaya di dalam doa-doa di Alkitab!—sepertinya hilang sama sekali.Di sinilah kita perlu kembali diingatkan bahwa doa adalah relasi yang intim dengan Allah Tritunggal. Bukan sekedar ‘doa kepada Tuhan’ yang kita tidak peduli identitasnya. Tetapi doa yang melibatkan seluruh akal, pikiran, serta hati kita bahwa kita berhadapan dan berinteraksi dengan Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Alangkah munafiknya doa-doa kita, kalau kita peduli abis-abisan dengan siapa pribadi yang duduk di kursi kepresidenan, gubernur, atau walikota—tetapi tidak peduli akan Siapa yang duduk di tahta surgawi!

Itu sebabnya berulangkali di dalam Alkitab, entah secara tersirat atau tersurat, kita akan menemukan bahwa umat Tuhan selalu berdoa dengan kesadaran penuh akan Siapa Allah yang kepada-Nya mereka menaikkan doa-doa mereka. Di sinilah kunci kekuatan iman kita. Iman Kristen bukanlah iman yang ‘melihat ke dalam’ diri kita, serta berdoa pada Allah yang kita cipta dalam gambar dan rupa kita sendiri. Itu adalah penyembahan berhala. Iman Kristen adalah iman yang ‘melihat keluar’ dari diri kita dan bersandar pada Allah yang telah menyatakan diri-Nya, melalui Yesus Kristus.