SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Kesetiaan Allah di Dalam Kegagalan Kita

“Kalau ada satu kitab di dalam Alkitab yang boleh saya hapus,” demikian kata seorang pengkhotbah, “Maka kitab itu adalah kitab Hakim-hakim.” Memang tidak banyak dari kita yang mengenal isi keseluruhan kitab ini. Hakim-hakim menceritakan tentang kegagalan demi kegagalan bangsa Israel selama mereka tinggal di tanah Kanaan, tanah Perjanjian. Kontras dengan kitab dan babak sebelumnya, dimana di kitab Yosua diceritakan (secara umum) keberhasilan bangsa Israel dalam menguasai dan menduduki tanah Kanaan. Kegagalan ini seringkali digambarkan dengan spiral: (1) Bangsa Israel berdosa dengan menyembah berhala bangsa-bangsa sekitarnya; (2) Tuhan membiarkan bangsa Israel dikalahkan dan dijajah oleh musuh-musuh mereka; (3) Bangsa Israel menderita dan bertobat minta pengampunan; (4) Tuhan membangkitkan hakim untuk menolong dan memimpin mereka; (5) Bangsa Israel hidup aman selama masa para hakim memerintah; (6) Setelah para hakim meninggal, bangsa Israel melupakan Tuhan dan kembali lagi ke (1). Selama lebih dari 350 tahun sejarah jaman para hakim, pusaran spiral ini berpilir semakin buruk. Di akhir kitab Hakim-hakim, bangsa Israel menjadi begitu rusak dan bobroknya sehingga mereka hidup tidak beda dengan musuh-musuh mereka.

 

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita tarik dari kitab ini:

 

  1. Kita harus berhati-hati terhadap dosa dan konsekuensinya
    Waktu Allah memberikan hukum-hukum-Nya, Ia bermaksud untuk menunjukkan kepada bangsa Israel bagaimana menikmati hidup sebagai orang yang benar-benar bebas. Kebebasan sejati hanya terdapat dalam memberikan seluruh hidup dan hati kita kepada Tuhan Allah, dan dinyatakan dalam bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Kitab Hakim-hakim menunjukkan betapa mudahnya untuk kita mempunyai pengabdian yang separuh hati atau asal-asalan kepada Tuhan. Gaya dan penampilannya aja Kristen, tapi hati dan hidupnya sebetulnya mengabdi kepada berbagai jenis berhala jaman ini. Kita harus berhati-hati jangan sampai kita kelihatannya baik atau bahkan sukses di mata orang (atau bahkan di dalam gereja!) tetapi jahat di mata Tuhan.

  2. Kita harus berhati-hati terhadap kesetiaan Tuhan Allah
    Kesetiaan dalam hal ini berarti kesetiaan Tuhan sebagai Bapa yang mendisiplin anak-anak-Nya. Penulis Ibrani mengatakan, “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak" (Ibr 12:6). Disiplin dan pukulan Tuhan dalam hidup kita justru adalah bukti bahwa kita sudah diangkat anak dan menjadi milik-Nya. Ia setia untuk mengganjar dan menindak ketidaktaatan kita. Kita perlu belajar untuk melihat kegagalan, tantangan dan penderitaan kita sebagai bagian dari Allah menunjukkan kasih dan kuasa-Nya dalam hidup kita. Kita juga belajar dari kitab ini bahwa Tuhan Allah berespon terhadap pertobatan kita. Dalam waktu dan bijaksana-Nya Allah setia untuk memulihkan keadaan kita dan menuntun kita di jalan yang benar.

  3. Kita harus heran akan ketidaksempurnaan para pemimpin yang Tuhan berikan
    Kitab Hakim-hakim dipenuhi oleh para pemimpin yang jauh dari sempurna, tidak konsisten dan penuh kerusakan. Tentu ini bukan alasan untuk menjadi apalagi membiarkan kepemimpinan seperti itu di dalam hidup kita. Tapi tetap saja mengherankan bahwa Tuhan berkenan memakai para pemimpin yang tidak sempurna ini untuk mencapai kehendak-Nya. Seperti ada yang mengatakan, memang hanya Tuhan yang bisa memakai tongkat yang bengkok untuk menggambar garis yang lurus. Pelajarannya adalah agar kita berharap bukan pada para pemimpin kita yang sementara dan penuh kelemahan, tapi pada Tuhan yang kekal dan penuh kuasa.

  4. Kita harus heran akan Pemimpin sempurna yang Tuhan sediakan
    “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak 21:25) adalah kalimat terakhir dari kitab ini. Tragis di satu pihak, tapi di pihak lain penuh harapan! Memang ini merujuk langsung pada dinasti kerajaan Daud, dimana raja Daud dan keturunannya seharusnya memimpin umat Tuhan di jalan yang benar. Kebanyakan kita tahu bahwa nantinya raja-raja ini pun dirundung oleh kegagalan demi kegagalan, sampai akhirnya Tuhan membuang mereka keluar dari tanah perjanjian. Di situlah kita memahami betapa sentralnya peran dan karakter Yesus Kristus, Hakim dan Penolong yang agung, yang Tuhan Allah utus untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka. Ia bukan saja Pemimpin yang sempurna, tetapi rela memberikan diri-Nya untuk dihakimi menggantikan kita. Hanya dengan menundukkan hidup kita di bawah Raja Yesuslah kita dapat berbuat apa yang benar di mata Tuhan.