SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Mat 5:20-26 "Demi Siapa Kita Marah?"

Matius 5:20-26
(20) Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

(21) Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. (22) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

(23) Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, (24) tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. (25) Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. (26) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.

Sejauh ini kita sudah melihat sifat warga negara kerajaan Surga seperti apa yang Yesus sedang ciptakan di dalam diri para pengikut-Nya. Ia mengkontraskannya dengan orang-orang yang oleh masyarakat saat itu dianggap paling layak masuk kerajaan Surga, yaitu para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Ini adalah para rohaniwan terbaik dan terkemuka pada saat itu. Ketekunan mereka memegang tradisi agama dan kesalehan mereka beribadah adalah gold standard hidup keagamaan orang Israel pada jaman Yesus. Tetapi Yesus justru meledakkan persepsi mereka: tradisi dan kesalehan mereka sama berharganya dengan belanja di toko menggunakan uang hasil menang main Monopoly, artinya tidak sah sama sekali.

Mulai dari 5:21-48, kita akan melihat Yesus mengajarkan kita membedakan antara hidup keagamaan yang palsu dengan hidup keagamaan yang sah di mata Tuhan. Yesus tidak mau kita merasa puas hanya dengan dengan kosmetik keagamaan seperti pergi beribadah, mengucapkan doa, terlibat dalam pelayanan, bakti sosial, semua hal baik yang nantinya Ia juga akan bicarakan di khotbah ini. Ia mau kita dipuaskan oleh hidup keagamaan yang menembus masuk ke dalam diri kita, yang menyelidiki pikiran kita yang tersembunyi serta mentransfomasi seluruh karakter serta hidup kita.

Itu sebabnya bagi saya sangat menarik bahwa isu pertama yang Yesus bahas di bagian ini adalah soal kemarahan serta relasi kita dengan orang lain. Kemarahan serta relasi kita dengan orang lain adalah tantangan setiap kita setiap hari. Tidak ada hari dimana tidak ada orang, situasi, cuaca, berita, postingan di media sosial, yang tidak berpotensi untuk membuat kita marah. Entah itu di rumah, di tempat kerja, di gereja, bahkan di saat liburan sekali pun, selalu saja ada yang bisa menyulut kemarahan kita!

Yesus mengajarkan bahwa ada akar penyakit yang sama dibalik membunuh dengan menghabiskan nyawa seseorang, maupun membunuh dengan menghancurkan reputasi seseorang. Keduanya datang dari hati yang membenci serta memusuhi orang lain. Ironisnya, penyakit ini tidak hanya terjadi di dunia bisnis dan politik, tetapi juga gereja. Yakobus yang menulis kepada salah satu gereja mula-mula berkata:

Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. (Yakobus 4:1-2)

Siapa 'kamu' di sini? Gereja! Bukankah itu seharusnya membuat orang Kristen hari ini merefleksikan diri bagaimana cara kita menggunakan kata-kata, menulis email, chat di Whatsapp, dan posting serta berkomentar di media sosial?

Yang Yesus tekankan di sini adalah bahwa kita kurang serius memikirkan secara dalam apa yang Allah maksud ketika Ia memberikan perintah "Jangan membunuh." Sama seperti para ahli Taurat dan orang Farisi, kita merasa cukup baik dengan status kita yang tidak pernah dituduh apalagi masuk penjara karena membunuh orang lain. Tetapi Yesus justru mengangkat martabat dan kemuliaan perintah ini dengan mengatakan bahwa bagaimana kita berelasi dengan Tuhan berkaitan erat dengan bagaimana kita berelasi dengan orang lain. Bukan sekedar memastikan kita tidak menghabisi nyawanya, tapi juga memastikan bagaimana kita menjalin relasi yang sehat, baik, dan benar dengan orang lain.

Begitu pentingnya relasi kita dengan sesama, sampai-sampai Yesus mengatakan tidak ada gunanya kita melakukan ibadah kepada Tuhan kalau kita masih membiarkan adanya permusuhan di dalam relasi-relasi hidup kita. Tidak ada gunanya kita menyanyikan lagu ,"Amazing Grace! How sweet the sound!" kalau kita tidak mau menunjukkan grace yang sama kepada orang yang berseberangan dengan kita.

Bukan saja relasi yang damai itu penting, tapi para pengikut Yesus juga dipanggil untuk membuat relasi damai sesegara mungkin.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. (5:25-26)

Saya percaya yang Yesus gambarkan di sini adalah urgensi untuk tidak menunda menyelesaikan setiap hal yang mungkin menyebabkan kepahitan, kemarahan, atau bahkan benci terhadap sesama kita. Ia tidak mau relasi kita dengan orang lain, khususnya dengan sesama anak Tuhan di dalam gereja, diwarnai dengan hal-hal yang berpotensi membuat kita saling dengki satu sama lain.

Seorang penulis mengatakan bahwa apa yang membuat kita marah menunjukkan apa yang penting bagi kita. Saya harus mengakui bahwa seringkali saya marah bukan karena saya mementingkan kerajaan Allah, tetapi kerajaan kecil saya sendiri. Saya marah karena orang lain sebagai pasukan teroris yang mengusik kepentingan dan kenyamanan kerajaan saya. Saya marah karena orang lain seharusnya tahu apa yang raja kecil ini mau, pikirkan, dan rasakan - eh tapi masih berani-beraninya bertindak melawan apa yang saya mau, pikirkan, dan rasakan! Sadar atau tidak setiap hari saya berdoa, "Diriku yang di dunia, dikuduskanlah namaku, datanglah kerajaanku, jadilah kehendakku di rumah maupun di mana-mana."

Itu sebabnya kita perlu kembali datang kepada Yesus, si Pengkhotbah di Bukit yang agung ini, untuk mengubah hati kita. Hanya Yesus, melalui Roh Kudus, yang dapat menahan kita untuk menjadi hakim sekaligus pembalas terhadap mereka yang bersalah kepada kita. Hanya Yesus yang punya kemarahan yang suci dan berani bagi kerajaan Allah Bapa-Nya. Hanya Yesus yang bisa menunjukkan betapa kecil, remeh, dan berbahayanya hidup bagi kerajaan kecil kita. Hanya Ia yang bisa mengubah hati kita sehingga kita hidup bagi kerajaan-Nya yang besar, mulia, dan penuh damai.

DOA
Tuhan Yesus, ampuni kami kalau selama ini kemarahan kami terhadap orang lain lebih sering tentang diri kami, emosi kami, kemauan kami, agenda kami. Betapa hampir tidak pernah kami untuk marah demi kerajaan dan nama-Mu.

Kami mengakui bahwa selama ini kami menganggap kami bisa menjalin relasi dengan Engkau, sambil membiarkan kepahitan, iri hati, dan rasa benci menghiasi relasi kami dengan orang lain. Berbelaskasihanlah pada setiap kami. Berbelaskasihanlah bagi gereja-Mu.

Kiranya kami dapat kembali kepada kasih setia-Mu yang besar dan ajaib. Ubahkan hati kami sedemikian rupa sehingga kalau kami sampai marah, itu demi kemuliaan dan hormat kerajaan dan nama-Mu. Amin.

 

Leave a Comment

Comments for this post have been disabled.