SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Membungkam Rasa Bersalah

Untuk kesekian kalinya, Anda sadar Anda baru berbuat dosa. Menipu pajak penghasilan, nonton pornografi, membentak pasangan dengan kata-kata kasar, atau bolos kebaktian Minggu.

Nurani Anda bergejolak. Ada perasaan yang tidak menentu. Dada terasa sesak. Nafsu makan jadi hilang. Anda kenal dengan emosi tersebut: Rasa bersalah! Anda mencoba berteriak membentak nurani Anda, “Diam. Tutup mulut!” Namun bukannya diam, suara nurani tersebut semakin keras menuduh Anda.

Bahkan, sekarang perasaan bersalah Anda malah menjadi-jadi. Bersalah karena dosa. Dan bersalah karena mencoba membungkam rasa bersalah!

Memang nurani manusia lebih kompleks dari iOS atau Android apps manapun. Ia dapat mendeteksi Anda berdosa, mendatangkan rasa bersalah, lalu mendorong Anda untuk melakukan sesuatu menebus rasa bersalah tersebut.

Sebagian besar orang Kristen (termasuk dulu, saya juga) memakai agama untuk membungkam rasa bersalah. Beribadah ke gereja, aktif dalam pelayanan, memberi persembahan bahkan perpuluhan. Celakanya, banyak gereja ‘memanipulasi’ dinamika hati tersebut, memakai rasa bersalah jemaat untuk mendorong mereka pelayanan lebih banyak, lebih giat, lebih sering. Pokoknya, lebih!

Bahkan sebuah survey menyatakan bahwa banyak hamba Tuhan penuh waktu (full-timer) memilih menjadi hamba Tuhan karena rasa bersalah. Jadi, aktivitas religiusitas kita seringkali berbanding proporsional dengan rasa bersalah.

Yang rohani aktif melayani. Yang super rohani menjadi full-timer. Yang super-duper rohani menjadi misionari. Atau yang lebih tepat: Yang paling merasa bersalah, dialah yang jadi misionari. Itulah yang dialami John Wesley.

Di abad ke-17, Wesley yang sudah melayani sebagai pendeta nekad menyeberangi samudera dari Inggris ke Amerika untuk menjadi misionari di negara bagian Georgia, agar terlepas dari rasa bersalah karena dosa. Sampai suatu hari Allah beranugerah.

Pagi itu tanggal 23 Mei 1738 Mazmur 130 berbicara secara khusus kepada dia. Pemazmur dalam Mazmur 130 yang juga dihantui rasa bersalah berteriak kepada Allah. “Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN!  Tuhan, dengarkanlah suaraku!” Sungguh sebuah teriakan memilukan dari seorang ‘nobody from nowhere’, namun naik ke atas ke dinding surga, demikian tulis komentator Brueggemann.

Tuhan Allah mendengar teriakan tersebut. Dan menjawabnya. Ia bukan hanya membungkam rasa bersalah tersebut. Ia mencabutnya sampai ke akar. Akar rasa bersalah adalah dosa. Allah mengampuni dosa kita. Kapan itu terjadi? Saat Ia menjatuhkan hukuman dosa manusia kepada Yesus Kristus di atas salib. Karena Kristus, pada Allah ada pengampunan bagi kita. Karena Kristus, tidak lagi kita dibelenggu rasa bersalah.