SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Menderita dan Bersukacita Bersama dengan Paulus

Mulai bulan Maret ini kita akan memulai seri khotbah baru “No Other Gospel”, yang berdasarkan eksposisi surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia. Salah satu sikap Paulus yang mencolok dalam surat-suratnya adalah betapa sukacita yang ia miliki di dalam Kristus. Sukacita yang Paulus miliki ini bukan karena ia dari sononya punya karakter periang, ramah, dan penyantai. Dan tentunya bukan karena situasi hidupnya. Kita menemukan di hampir kebanyakan situasi justru Paulus berada dalam tekanan, kesulitan, penderitaan, dan penganiayaan. Demi kemajuan pekerjaan Injil, Paulus keluar-masuk penjara, dipukuli, dikhianati, dicacimaki, diremehkan, bahkan dipertanyakan kerasulannya. “Yang bener aja!” Mungkin komentar sinis beberapa orang saat itu pada Paulus,”Masa yang namanya utusan Tuhan hidupnya sengsara gini? Masa hamba Tuhan pembawaannya lemah kayak gak ngga ada potongannya sama sekali?”

Tetapi justru di tengah semua itu Paulus dapat berkata,”Saudara-saudaraku, bersukacitalah dalam Tuhan!” (Filipi 3:1). Dari mana datangnya sukacita ini?

Di dalam bukunya A Portrait of Paul: Identifying a True Minister of Christ, penulis Rob Ventura dan Jeremy Walker mengkontraskan sukacita/joy Paulus dengan sukacita lainnya. Ada sukacita masokisme (masochism), yang berkata “Aku bersukacita karena aku menderita.” Penderitaan menjadi sesuatu yang kita kejar, atau bahkan kita banggakan. Kalau bahasa halusnya, kita entah membanggakan betapa menderitanya pelayanan kita atau pelayanan pemimpin rohani kita. Kita menjadikan penderitaan sebagai tanda jasa kerohanian untuk dipamerkan. Kita merendahkan atau melihat sebelah mata orang lain yang kelihatannya tidak menderita. Ada sukacita asketisme (asceticism), yang berkata “Aku bersukacita karena penderitaan yang kupaksakan pada diriku sendiri.” Fokusnya berusaha membuat diri menderita sedemikian rupa agar bisa ‘naik’ ke tingkat kerohanian berikutnya. Di sini kita membuat daftar kesulitan dan penderitaan sendiri yang entah kita bebankan pada diri kita atau orang lain. Seringkali kita kelabui dengan bahasa rohani seperti memikul salib atau ‘beban dari Tuhan’. Ada juga sukacita stoik (stoicism), yang berkata “Aku bersukacita walaupun aku menderita.” Kita rela menderita karena hidup memang sulit, jadi badai harus dihadapi dengan wajah tegar. Asal kita kuat, maka penderitaan akan berakhir dan membawa kebaikan. Mungkin satu varian lain yang kerap saya dengar adalah sukacita komparatif, yang berkata “Aku bersukacita karena penderitaanku tidak seburuk orang lain.” Emang menderita sih, tapi kalau lihat gimana susahnya hidup si anu, wah gak bisa dibandingin deh!

Problem terbesar dari bentuk-bentuk sukacita di atas adalah anda dan saya tidak perlu Kristus untuk memilikinya! Asal punya sedikit akal sehat dan kemauan untuk berusaha, sudah cukup. Betapa bedanya dengan sukacita yang Paulus miliki. Sukacita yang ia miliki berkata “Aku bersukacita di dalam penderitaan.” Penderitaan, bagi Paulus, justru adalah konteks dimana sukacitanya muncul. Mengapa? Karena sukacita Paulus bukanlah sukacita yang melihat ke dalam diri, atau bahkan membandingkan diri dengan orang lain. Sukacita Paulus adalah sukacita di dalam Kristus—Tuhan yang telah menderita dan menyelamatkan-Nya. Kristuslah, yang telah bangkit dari kematian dan memerintah dari surga, yang menjadikan penderitaan justru tempat di mana sukacita Paulus menjadi semakin dalam. Selama sukacita anda dan saya kebanyakan bersifat masokisme, asketisme, stoik, atau komparatif—kita tidak akan pernah menikmati damai dan sukacita sejati, yang hanya Kristus bisa berikan. Ya, bahkan di dalam penderitaan sekalipun!