SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Mengapa Donald Trump Tidak Layak Menjadi Pemimpin Gereja Lokal

image1.PNG

Pada tanggal 8 November 2016 Donald J. Trump terpilih menjadi presiden Amerika karena sistem electoral college. Namun ia tidak akan pernah memenuhi syarat menjadi pemimpin sebuah gereja lokal. Minimal ada empat alasan:

Pertama, Trump telah cerai dua kali dan istrinya yang sekarang adalah istri yang ke-3. Itu berarti ia bukan seorang ‘one-woman man’ (Titus 1:6), sebuah karakter yang Paulus tetapkan untuk para penatua di gereja-gereja Tuhan di Efesus dan Kreta. Seorang pemimpin gereja tidak harus sudah menikah (karena kalau itu syaratnya, bahkan Yesus pun tidak akan memenuhi syarat). Namun menikah atau tidak, ia haruslah seorang yang setia pada satu wanita, tidak flirting dengan wanita lain atau gonta-ganti wanita. Bukan seorang yang terjerat pornografi.

Kedua, Trump arogan dan mudah marah. Sementara pemimpin gereja adalah seorang yang “tidak angkuh, bukan pemberang” (Titus 1:7). Paulus menulis bahwa pemimpin gereja perlu overseeing jemaat tapi tidak overbearing terhadap jemaat. Artinya, meski ia bertanggung jawab terhadap kerohanian jemaat, ia tidak merasa diri superior, tidak otoriter mendominasi seluruh keputusan penting. Ia tidak congkak dan agresif, ia seakan menyatakan bahwa seluruh kepenuhan Allah berdiam dalam dirinya. Sementara orang lain dimatanya hanyalah sapi perah atau kelinci pencobaan.

Ketiga, Trump menghina dan mengutuki orang-orang yang berbeda dengan dirinya secara gender, ras, agama, warna kulit, dan kepercayaan. Yaitu sekitar 80% penduduk dunia! Seorang pemimpin gereja haruslah seorang yang hospitable (Titus 1:8), yang dari bahasa aslinya philoxenos berarti seorang yang mengasihi orang asing. Pemimpin gereja dengan praktis dan konkrit memiliki radar khusus terhadap orang asing. Berinisiatif mengenal mereka, membuka pintu rumah dan hati bagi mereka, karena Kristus telah berbuat hal yang sama dalam diri para pemimpin gereja teresbut.

Keempat, Trump memiliki segudang isu yang berbagai pihak dapat dan telah pakai untuk menuduh dia. Pemimpin gereja sebaliknya adalah seorang yang blameless atau tak bercacat (Titus 1:6). Tak bercacat tentu bukan berarti tak lagi dosa dan suci 100%. Maksudnya adalah tidak ada sebuah area kelemahan yang orang bisa pakai untuk menyerang reputasinya. Ia tidak korup dalam hal finansial, seksual, doktrinal atau karakter. Ia tidak punya rahasia yang ia tutup-tutupi. Hidupnya adalah buku yang terbuka. Di gereja, di rumah, di kantor, dimanapun dia bersikap sama. Istri dan anaknya dapat bersaksi bahwa ia menunjukkan kesembilan buah Roh di rumah sebagaimana di gereja.

Selain empat diatas, tentu ada banyak alasan lain yang membuat gereja akan berhenti menjadi gereja bila pemimpin gereja berkarakter seperti Trump. Gordon Fee, mengomentari kualifikasi pemimpin gereja dalam surat-surat pastoral Paulus, menegaskan bahwa tidak ada satupun dari kualifikasi tersebut yang eksklusif Kristen. Yang ada di benak Paulus saat itu adalah pemimpin gereja haruslah merefleksikan idealisme tertinggi dari budaya Yunani (Hellenistic).

Bila pemimpin gereja tidak memiliki syarat karakter yang lebih tinggi atau minimal sama dengan pemimpin masyarakat, gereja akan menjadi bahan cemooh dunia. Bagaimana mungkin gereja menjadi tempat dimana jemaat dapat diubahkan oleh Injil Kristus apabila gereja dipimpin oleh orang-orang yang mengajar Injil namun hidupnya belum diubahkan oleh Injil tersebut? TIdak heran gereja selalu berada hanya satu generasi dari kepunahan. 

Dunia terkejut setengah mati Trump terpilih menjadi presiden Amerika. Gereja tenang-tenang saja melihat pemimpin-pemimpin yang berkarakter seperti Trump terpilih. Kaya materi, miskin spiritual. Karisma tinggi, kerohanian rendah. Piawai berorasi di atas panggung, namun kaku membisu di hadapan tahta kasih karunia. 

Kyrie Eleison. Tuhan nyatakan belas kasihMu.