SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Menjumpai Allah dalam Kehancuran

Merasa diri bisa (self-efficacy) ditengarai sebagai kunci dari pengembangan diri. Sulit seseorang dapat maju dan bertumbuh bila ia tidak memiliki rasa percaya diri bahwa dia mampu. Anda mau jadi pemimpin? Anda harus punya keyakinan "Saya bisa!"

Namun dalam area spiritualitas, merasa diri bisa justru mencelakakan. Orang beragama yang semakin mampu menjalankan tuntutan keagamaanya akan percaya diri sendiri, bukan Tuhan. Mengapa orang Farisi paling sering ditegur Tuhan Yesus? Bukan karena mereka tidak percaya bahwa Allah bermurah hati kepada mereka dan mengampuni mereka. Mereka percaya semua itu, namun mereka percaya semua itu terjadi karena jasa mereka!

Dan celakanya, saat mereka menganggap perbuatan mereka lah yang membuat Tuhan beranugerah, mereka pasti akan memandang rendah orang lain. Merasa diri mampu selalu diikuti dengan memandang rendah orang lain. Tidak jarang kita mendengar orang Kristen yang sering memberi label orang Kristen lain yang tidak segolongan: "mereka tidak ada roh kudus" atau "mereka tidak reformed". Padahal Rasul Paulus, yang sangat mungkin paling dipenuhi Roh Kudus dan paling Reformed, justru menyebut dirinya yang paling berdosa di antara semua orang berdosa.

Dalam cerita Tuhan Yesus, justri si pemungut cukai itu, yang adalah penghianat bangsa, pemeras uang rakyat, lintah darat, preman, yang malah pulang dibenarkan Allah. Banyak orang kaget mendengar akhir cerita tersebut. Bagaimana mungkin seorang pendosa besar dapat secara instan dibenarkan Allah tanpa melakukan apa-apa? Tanpa ketaatan terhadap Allah, tanpa kesalehan rohani, tanpa moralitas tinggi, tanpa aktif beribadah.

Karena ia dibenarkan dengan kebenaran Kristus. Kebenaran manusia satu-satunya yang Allah terima adalah kebenaran yang sempurna. Siapa sih di seantero dunia ini yang mampu taat 100% mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, akal budi, dan mengasihi sesama seperti diri sendiri? Seminggu sekali setiap hari Minggu selama 2 jam di gereja mungkin bisa, tapi 24 jam sehari setiap hari seumur hidup?

Ketika ia berdoa, "Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini", kata asli yang dipakai untuk "kasihinaliah" mengacu kepada korban pendamaian (hilaskomai). Kata tersebut dipakai hanya satu kali lagi di Perjanjian Baru, menunjuk kepada Yesus, Imam Besar yang 'mendamaikan' dosa seluruh bangsa (Ibrani 2:17). Dengan kata lain, pemungut cukai itu berdoa begini, "Ya Allah, kasihanilah aku melalui korban pendamaian Kristus bagi dosa, karena aku orang berdosa"

Jadi kunci spiritualitas Kristen bukan merasa diri mampu. Tapi merasa diri tidak layak. Brokenness. Memang brokenness beda dengan dosa. Dosa adalah pelanggaran terhadap Allah. Brokenness adalah jiwa yang hancur karena kita berdosa. Dalam kerjaan Allah, brokenness jauh lebih penting dari giftedness. Jadi kalau semakin lama menjadi Kristen, semakin Anda merasa mampu, ada sesuatu yang sangat salah dalam kerohanian Anda!

Tuhan menciptakan kita dari 'tidak ada' menjadi 'ada'. Selama kita tetap merasa 'tidak ada', kita bukan siapa-siapa. Dia bisa membentuk dan memakai kita menjadi berkat. Namun begitu kita merasa diri 'mampu', Dia tidak lagi tertarik untuk memakai kita.

"Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah"