SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Nurani yang Bisu

Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia (Kisah 24:16)

Dalam program rehabilitasi 12-langkah Alcoholics Anonymous, salah satu langkah tersulit yang harus dijalani oleh pecandu alkohol adalah mengakui pengalaman ketidakberdayaan mereka terhadap alkohol di depan sesama pecandu lainnya. Asumsi di belakang langkah tersebut, adalah: “You are as sick as your sickest secret, and you will remain sick as long as it remains secret.”

Menutupi rahasia diri adalah upaya sadar membungkam hati nurani didalam yang berteriak keras memprotes kelihaian kita menipu orang lain, diri kita sendiri, dan Allah. Jika kita rajin membungkam nurani kita, lama-lama ia menjadi bisu.

Apa itu hati nurani? Oswald Sanders mendefinisikannya sbb: “Conscience is that faculty within me that attaches itself to the highest standard I know, and then continually reminds me of what that standard demands that I do.”

Nurani kita menjadi jendela jiwa kita yang melihat kepada Allah atau kepada sesuatu yang kita anggap memiliki standar tertinggi. Yang penting untuk kita mengerti adalah bahwa nurani kita selalu menuntut kita untuk melakukan apa yang benar yang semestinya kita lakukan, namun ia tidak dapat menentukan sendiri apakah sesuatu tersebut benar atau salah.

Itu sebab mengapa setiap orang memiliki nurani yang berbeda, tergantung dari apa yang menjadi standar hidupnya. Jika kita terbiasa memegang teguh standar Allah yang Ia nyatakan dalam firmanNya, maka nurani kita akan senantiasa menuntut kita untuk hidup sesuai dengan hukum Allah yang sempurna itu. Semakin kita hidup bertaut dengan firmanNya, semakin nurani kita merefleksikan standar Allah. Pertanyaannya, maukah kita mentaatinya? Karena ketaatan adalah satu-satunya cara untuk kita dapat membedakan “manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).

Ketika Raja Daud mulai bermain-main dengan hawa nafsu seks-nya dan berakhir dengan perzinahan dan pembunuhan, ia sadar bahwa dosanya yang begitu tragis itu pada dasarnya adalah relasi yang rusak dengan Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa.” (Mzm 51:6). Meski ia raja yang berkuasa saat itu, hal memalukan tersebut dia akui dalam dokumen publik (Mazmur 51) yang tentu menjadi konsumsi massa, dan aib nasional. Namun bagi Daud, memperbaiki relasi dengan Tuhannya jauh lebih penting dan serius ketimbang menjaga reputasinya sebagai seorang pemimpin nasional.

Anda dan saya perlu jujur bertanya kepada diri sendiri apakah kita sudah hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. Karena bukankah sangat aneh bila dalam pelayanan kita dapat menyatakan kebenaran Allah kepada nurani manusia (2 Kor 4:2) sementara kita sedang membungkam nurani kita sendiri?

Kemurnian hati nurani adalah prasyarat pelayanan rohani.

Nabi Yeremia mengingatkan kita “betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu” (Yer 17:9). Saat kita ceroboh dengan nurani kita, menikmati berbagai dosa tanpa mau bertobat, kita sedang hidup dengan berbagai topeng dan kosmetik yang memberi perlindungan semu. Orang lain melihat kita suci, namun kita sendiri tahu betapa bejat-nya kita. Dan Tuhan tahu itu. Itu sebab kita perlu akhiri sandiwara dan tanggalkan topeng, lalu kembali pada Tuhan memohon belas kasihNya.