SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Resiko Pelayanan Injil

Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding konflik relasional, apalagi bila itu terjadi dengan orang yang sangat kita kasihi. Hal ini bukan pengalaman asing bagi rasul Paulus. Hatinya pedih saat anggota-anggota jemaat Galatia berubah sikap terhadap dia. Tadinya ia disambut dan diterima bagaikan seorang malaikat Allah, bahkan seperti Yesus Kristus sendiri, meski karena penyakit yang ia derita penampilan wajahnya saat itu terlihat ‘menjijikkan’ (Gal 4:14). Tak berapa lama mereka memperlakuan dia sebagai seorang musuh (Gal 4:16). Tadinya malaikat, sekarang musuh.

Bagaimanapun pelayanan Injil Kristus Yesus dipahami baik itu di rumah, di gereja, di kantor, atau di arena publik, inti dari pelayanan Injil hanya satu: Orang berdosa melayani orang berdosa dengan berita sukacita Kristus telah mati dan dibangkitkan untuk kedua pihak tersebut. Karena baik yang melayani dan yang dilayani adalah orang berdosa, pelayanan selalu mengandung resiko (occupational hazard).

Para pelayan Injil dapat disalahmengerti, difitnah, dijauhi, dimusuhi, dibenci, dicuekin. Tidak dihargai. Tidak diberi kesempatan untuk membela diri.

Menghadapi perlakuan tersebut, pelayan Injil itu karena ia juga orang berdosa seringkali secara refleks berespon sebagai berikut. Mengasihani diri, tidak lagi peduli dengan orang yang ia layani, melayani asal-asalan tanpa spirit of excellence. Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche pernah berkata, apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu semakin kuat. Kalimat itu benar, tapi hanya separuh. Memang ketika difitnah dan dimusuhi, seorang pelayan Injil mungkin akan semakin tegar dan tahan banting dalam pelayanan berikutnya. Namun ia juga akan menjadi pahit, sinis, apatis, dan kalkulatif. “Buat apa saya jungkir balik pikirin orang lain, kalau saya akhirnya diperlakukan seperti kosetan kaki?”

Saat kita berkata seperti itu, entah di dalam hati atau dengan nada marah kepada seseorang, kita sebenarnya sedang melengserkan Tuhan Allah dari tahta-Nya, dan menjadikan harga diri menjadi ‘tuhan’ kita. Kita sedang lupa bahwa di dalam Kristus harga diri telah diakui penuh satu kali selamanya saat Ia rela mati bagi kita saat kita masih cuek dan memusuhi Dia.

Kita sedang lupa bahwa Tuhan itu dekat. Kita lupa bahwa Tuhan memberi kasih karunia, dan kasih karunia-Nya cukup. Bagi kita yang melayani, kasih karunia-Nya cukup untuk kita dapat mengasihi secara tulus dengan air mata dan doa kita, sebagaimana teladan Kristus. Bagi orang yang kita layani, kasih karunia-Nya cukup untuk transformasi hidup yang Allah telah mulai dalam dirinya akan terus terjadi, meski amat sangat lama dan lambat sekali.

Inilah perspektif ilahi. Kalau Anda berdiri 2,000 km dari atas pemukaan laut, Anda akan melihat daratan dengan sangat berbeda. Sikap Anda akan berbeda. Relasi yang menyakitkan memang tetap menyakitkan. Namun Anda akan dapat bertahan dan berjuang untuk terus memperbaikinya. Anda akan dimampukan untuk, dalam bahasa Paulus, “menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu.” (Gal 4:19).

Pada akhirnya, untuk Tuhan Allah dapat memakai kita dengan dahsyat sebagai alat ditangan-Nya, Ia perlu terlebih dahulu menghancurkan kita dengan dahsyat pula. Yang perlu dihancurkan adalah kecintaan kita pada harga diri kita dan hak-hak kita. Itulah salah satu alasan Tuhan mengijinkan air mata dalam pelayanan. Setiap linangan air mata kita untuk orang-orang tak tahu berterima kasih adalah means of grace untuk mengikis ego kita, kepahitan kita, dan kecenderungan kita mengasihani diri sendiri. Dan setiap kita itu terjadi, percayalah Anda sedang semakin diubahkan menjadi seperti Kristus secara dahsyat.