SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Sekarang Aku Tahu!

Anak domba Allah yang telah disembelih itu, Yesus Kristus, tersebut berdiri di tengah tahta. Dia, dan hanya Dia, yang layak untuk membuka gulungan kitab itu, dan seluruh isi surga serentak bergema dengan pujian yang begitu nyaring dikumandangkan:

“Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian” (Wahyu 5:12).

Bayangkan Anda ada di antara kerumunan orang banyak yang memuji Anak Domba Allah itu, lalu dari kejauhan Anda melihat Abraham yang berdiri menyembah. Begitu ada kesempatan, Anda segera mencari dia. Dan Anda pun langsung bertanya sebuah pertanyaan yang sudah lama Anda ingin tanyakan kepada Abraham:

Anda: Bapa Abraham, permisi tanya, apa yang ada di hati Bapa saat menyembah
Allah tadi?

Abraham: Saya sekarang jadi mengerti.

Anda: Hmmm….maksud Bapa?

Abraham: Ya, saya jadi mengerti apa yang ada dalam hati Allah saat Ia mengorbankan Anak-Nya diatas kayu salib. Allah pernah berkata kepadaku saat aku hendak mempersembahkan Ishak: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.”

Anda: Yah, pasti sangat sulit bagi Bapa sebagai seorang ayah.

Abraham: Benar. Tapi Allah menyediakan pengganti bagi Ishak, sementara Ia menyerahkan AnakNya justru untuk menjadi pengganti. Jadi sekarang aku tahu! Sekarang aku tahu bahwa Allah mengasihi aku karena Ia tidak menyayangkan AnakNya, AnakNya satu-satuNya dan menyerahkanNya untuk menyelamatkan aku.
Anda: O…wah luar biasa ya Bapa… (meneteskan air mata terpesona dengan kasih Allah)

Begitulah salah satu percakapan yang akan terjadi lagi di surga. Sepanjang kekekalan kita tidak akan pernah habis mempercakapkan betapa lebar dan panjang dan dalam dan tinggi kasih Kristus. Apalagi seumur hidup kita yang singkat di dunia yang sekarang ini.

Namun sungguhkah kita sering memikirkan kasih yang ajaib tersebut? Ataukah itu telah menjadi kasih yang basi bagi kita, karena kita menganggap itu remeh dan tidak penting lagi?