Sex, Marriage and Singleness
August 8, 2010 Speaker: Prof Sen Sendjaya Series: 1 Corinthians : Redeeming God's Wonderful Mess
Topic: Sunday Sermon / Kotbah Minggu Passage: 1 Corinthians 7:7–7:16
- Listen
- Downloads
Sex, Marriage, and Singleness (1 Kor 7 : 7 – 16, 25-40 )
Kotbah: Dr. Sen Sendjaya
Di tengah berbagai pandangan dunia mengenai sex dan pernikahan, apa yang menjadi dasar bagi orang Kristen menentukan apakah harus menikah atau tidak? Celakanya, seringkali orang Kristen menentukan semuanya ini dengan berdasar pada budaya populer, dan bukan Firman Tuhan.
Apa yang Alkitab katakan tentang sex? Dalam 1 Kor 6, terdapat 3 pandangan mengenai sex: 1. Pandangan liberal bahwa sex adalah hal yang natural yang dibutuhkan tubuh layaknya makanan (1 Kor 6:13). Sehingga kalau menginginkan sex, lakukanlah kapan saja. 2. Pandangan konservatif bahwa sex itu kotor sehingga ada pasangan yang menolak berhubungan sex (1 Kor 7:1 – lebih tepat diterjemahkan ‘lebih baik laki-laki tidak berhubungan sexual’).
Tetapi Alkitab memiliki pandangan yang jauh berbeda. Di 1 Kor 6:18 dikatakan ‘jauhkanlah dirimu dari percabulan (pornea)’. Kata pornea mencangkup segala kegiatan sexual diluar pernikahan. Karena, dalam hubungan sexual laki-laki dan perempuan menjadi satu daging (Kej 2:24, 1 Kor 6:16). Apa artinya ‘menjadi satu daging’? Dalam bahasa aslinya, menjadi satu daging memiliki arti lebih dari sekedar physical. ‘Daging’ dalam konteks ini meliputi personhood dari seluruh totalitas hidup kita. Sex merupakan lambang penyerahan totalitas diri kepada pasangan kita secara exclusive dan permanen (seumur hidup). Sehingga, orang-orang yang tidak menikah (single) tapi sexually active, sebenarnya sedang merusak design Allah akan sex. Disisi lain, pasangan yang menikah tetapi tidak sexually active gagal menggenapi design tersebut. Pandangan Alkitab ttg seks bukan natural atau kotor, tetapi mekanisme penyeranghan diri total yg menghasilkan transformasi yg mendalam pada diri seseorang.
Lalu apa yang Alkitab katakan mengenai singleness dan marriage? Pada zaman jemaat mula-mula, status dan achievement keluarga (bukan individual) adalah yang terpenting. Pernikahan diatur sedemikian rupa untuk menjaga status keluarga. Tetapi, kekristenan adalah filosofi pertama yang mengangkat singleness sebagai cara hidup yang legitimate. Menikah baik, tidak menikah juga baik. Itu sebabnya Alkitab juga mengajarkan gereja untuk memelihara janda-janda (Kis 6:1, 1 Kor 7:8, 1 Tim 5:16), yang menjadi single karena kematian atau ditinggal suaminya, tanpa mengharuskan mereka untuk menikah kembali. Jadi kalau dulu tujuan pernikahan adalah untuk status keluarga, sekarang tujuan pernikahan adalah kebutuhan akan kebahagiaan pribadi. Dunia beranggapan kalau kita belum menikah, hidup menjadi kurang bahagia. Pernikahan sekarang menjadi idol untuk mendatangkan kebahagiaan pribadi.
Tetapi bukan itu tujuan pernikahan menurut Alkitab. Ada 5 tujuan pernikahan dalam Alkitab: 1. Procreation – beranak cucu (Kej 1:28); 2. Pleasure within marriage (Amsal 5 dan Kidung Agung); 3. Partnership –suami istri seharusnya menjadi teman yang paling dekat (Kej 2:18); 4. Purity – untuk menghindari bahaya percabulan (1 Kor 7:2); dan 5. Picture – pernikahan menggambarkan hubungan Kristus dengan gereja-Nya (Efesus 5).
Lalu bagaimana kita bisa tahu apakah kita harus menikah atau tidak? Paulus mengkaitkan ini dengan akhir jaman (doktrin eschatology). Yesus sudah pernah datang yang pertama kali, mati dikayu salib dan bangkit untuk kita. Dan Dia akan datang kembali kelak. Kita sekarang sedang berada dalam masa penantian, dimana terjadi overlap antara dosa dan kemerdekaan dalam Kristus. Inilah konteks ‘present ciris’ yang Paulus tulis dalam bagian ini. Sehingga, karena sisa waktu tersebut demikian singkat (ayat 29), kita harus memutuskan apakah harus menikah atau tidak dengan bertanya: “Apakah kalau saya menikah, apakah hidupku akan lebih berkenan di hadapan Allah, apakah aku akan semakin serupa Kristus?” “Apakah dengan menikah, saya bisa lebih mengasihi dan melayani Tuhan? Kalau jawabannya “Tidak”, mungkin singleness lebih baik. Karena di mata Allah, meski Dia peduli dgn hidup kita (single atau menikah), yang lebih penting bagi-Nya adalah kita semakin serupa dgn Anak-Nya, Kristus Yesus. Kalimat ‘berlaku seolah-olah tidak beristri’ di ayat 29 kita perlu mengerti dalam konteks bahwa dunia dan segala isinya akan segera berlalu. Tetapi Tuhan akan menggantinya dengan keluarga Allah. Paulus mengajarkan ini supaya kita tidak menaruh pengharapan akan kebahagian dalam keluarga. Pengharapan kita adalah kepada Allah, yang telah menebusmu sehingga kamu bisa menjadi bagian dalam keluarga Allah kelak. Di dalam keluarga Allah, tidak ada lagi suami atau istri (Matius 22:30), melainkan semua orang akan berelasi sebagai anak-anak Allah.
Terlebih dari itu semua, kepuasan hidup kita, baik single maupun menikah, terjadi waktu kita mengikatkan diri pada Tuhan (1 Kor 6:16-17). Jadikanlah Kristus kekasih jiwamu. Ingatlah, bahwa Kristus rela kehilangan independence-Nya diatas kayu salib karena Ia ingin menjadi kekasih jiwa kita. Berikanlah diri kita kepada Tuhan, dan kita akan mengalami kepuasan yang penuh bersama dengan Dia.
(David)
More in 1 Corinthians : Redeeming God's Wonderful Mess
January 7, 2018
The Time is ShortDecember 20, 2010
Love Never EndsDecember 12, 2010
Faith Minus Love Equals Nothing