SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Iman Kristen dan Politik

Kita tidak bisa memungkiri tingginya suhu politik di Indonesia baru-baru ini. Kebanyakan kita secara rutin menerima, membaca, atau bahkan ikut membagikan beragam artikel, analisa, komentar, dan foto-foto yang bereaksi terhadap apa yang sudah (dan mungkin akan) terjadi di Indonesia. Mengurai persoalan politik di negara mana pun memang tidak sesederhana memperbaiki perangkat elektronik. Kita tidak bisa sekedar mencabut komponen tertentu, dan berharap dengan adanya komponen yang baru secara otomatis semua berjalan mulus. Terlebih lagi dengan negara yang alur sejarah dan tatanan masyarakatnya sekompleks Indonesia. Itu sebabnya, Michael Gerson dan Peter Wehner di dalam bukunya City of Man: Religion and Politics in a New Era mengatakan bahwa ketegangan politik adalah kompleksitas yang tak terhindarkan. Terlebih lagi begitu agama masuk ke dalam ketegangan itu maka ada dua bahaya yang mungkin terjadi: agama menjadi kendaraan untuk mencapai maksud politis, atau agama sama sekali lepas tangan tanpa mencari kesempatan untuk bertindak apa-apa.

Blog ini tentu bukan tempat untuk mengupas semua aspek tentang iman Kristen dan peran gereja di dalam politik. Walaupun demikian, refleksi saya dari kesimpulan Gerson dan Wehner saya harap bisa menjadi bahan doa dan tindakan kita bersama.

Gerson dan Wehner menutup bukunya dengan mengatakan,

Politik adalah bagian dari tugas kita, tetapi bukan pengharapan kita. Terlibat dalam politik adalah panggilan yang mulia, tetapi bukan tujuan akhir kita. Orang Kristen dapat berguna dalam kehidupan publik justru karena mereka mengakui adanya nilai-nilai kekekalan dan makna hidup di luar dunia politik. Kita bekerja demi kebaikan dan kesehatan sebuah kota duniawi. Kita berharap pada sebuah kota dimana tidak ada kematian, air mata, penderitaan, dan duka cita.

Rasul Paulus mengatakan bahwa kalau tenda sementara, rumah duniawi kita ini dihancurkan, kita punya bangunan yang datang dari Tuhan, yang kekal di surga. Kota duniawi adalah tempat tinggal sementara kita, dan kita mempedulikan keteraturan dan keadilan di dalamnya. Tetapi kota Allah adalah rumah kita.

Kita tidak bisa menghindar dari keberadaan kebijaksaanaan politik, entah itu baik atau pun buruk. Bagaimana pun juga kesejahteraan dan kebaikan masyarakat banyak masih sangat tergantung keputusan-keputusan politik. Tentu saja kepentingan ini dapat (dan sering!) dipelintir oleh sekelompok orang. Tetapi sebagai bagian dari masyarakat, gereja tidak seharusnya mengambil jarak, mencuci tangan, dan hanya kerjanya mengecam kebobrokan yang ada. Mendoakan, bersuara dengan bijaksana, mengulurkan pengampunan, berdialog, bekerja sama, membagikan kebenaran, mengkritisi dengan kepala dingin—semuanya adalah panggilan yang sah bagi setiap orang percaya. Dan bagi beberapa dari kita, mungkin bentuknya adalah terlibat, bekerja, dan berpartisipasi langsung di dalam pemerintahan dan/atau partai politik sekalipun.

Sampai Kristus datang kembali, setiap pengikut-Nya akan selalu hidup sebagai warga negara di dua kota—duniawi dan surgawi. Mari kita tunjukkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia, kewarganegaraan mana yang menjadi fokus utama kita!

Buku City of Man: Religion and Politics in a New Era dapat dibeli di Amazon: https://www.amazon.com/dp/B004477PBC/ref=dp-kindle-redirect?_encoding=UTF8&btkr=1