SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Mengalahkan Kesombongan

Catatan: Blog dibawah akan lebih enak dibaca kalau dibarengi dengan membaca Daniel 4 terlebih dahulu

crown

Kesombongan atau pride kerapkali dikatakan sebagai akar dari berbagai macam kejatuhan manusia. Cara lain untuk melihat kesombongan adalah “menempatkan diri kita di tempat dimana seharusnya Allah berada, yaitu pusat dari segala sesuatu.” Mungkin kebanyakan dari kita tidak berjalan kian kemari dengan kaos bertuliskan ‘I am the centre of the universe / Akulah pusat jagat raya’ – tetapi kalau dipikir-pikir itulah yang tertulis di dalam hati kita sejak kita lahir. Urusanku, kepentinganku, kesenanganku, reputasiku, hakku adalah latar belakang dari setiap hal yang kita kerjakan. Bahkan kalau Anda memperhatikan buku-buku bertemakan self-help, semuanya memiliki satu tema yang sama: bagaimana memiliki hidup yang Anda dambakan.

Buku Daniel (dan seluruh Alkitab, tepatnya) adalah buku yang tidak sungkan untuk mengatakan bahwa saya dan Anda bukanlah pusat dari jagat raya. Tuhan lah pusat dari segala sesuatu. Di tengah gembar gembor persiapan pemilihan Presiden Indonesia maupun Perdana Menteri Australia, Tuhan adalah satu-satunya Pemimpin yang tidak perlu jumlah suara maupun popularitas. Salah satu tema besar dari buku Daniel adalah bahwa Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan semesta alam – Raja di atas segala Raja, Presiden Tertinggi Tanpa Masa Akhir Jabatan, Pemimpin Tanpa Batas Wilayah Kekuasaan.

Kesombongan yang Membuat Bodoh

Kesombongan manusia yang berusaha menjadikan dirinya Tuhan diwakilkan oleh sikap Raja Nebukadnezar terhadap Tuhan. Waktu Daniel menjelaskan arti mimpinya, Nebukadnezar sebetulnya sudah tahu apa yang Tuhan tuntut dari hidupnya. Tuhan mau agar Nebukadnezar mengakui bahwa Ia lah yang mempunyai tempat dan otoritas tertinggi di dalam hidupnya, dan bukan dirinya sendiri. Tetapi Nebukadnezar dengan sengaja menunda-nunda untuk tidak menggubris Firman Tuhan. Ia bahkan membiarkan waktu berlalu, harap-harap Tuhan membiarkan atau bahkan melupakan keadaannya.

Dapat dikatakan yang lebih menakutkan dari hidup Nebukadnezar adalah kehidupannya tetap lancar-lancar saja, bahkan bertambah sukses dengan berjalannya waktu. Kesuksesan dan kelancaran di dalam hidup kerap kali adalah jerat yang dapat membutakan kita pada anugerah Tuhan. Itu sebabanya, di puncak kesombongannya Nebukadnezar dapat berkata (perhatikan berapa kali kata ‘ku’ muncul),”Bukankah itu Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?” (Dan 4:30)

Kesombongan bukan saja membutakan kita, tetapi membuat kita menjadi bodoh. Bodoh di sini tentu bukan berarti penurunan nilai kecerdasan. Orang bodoh di dalam Alkitab dapat didefinisikan sebagai orang yang mengetahui apa yang Tuhan kehendaki, tetapi bersikeras mengikuti kehendaknya sendiri.

Tidak jarang, seperti dalam kasus Nebukadnezar, kita mengalami konsekuensi fatal dari kesombongan kita. Tuhan mengijinkan kegagalan, patah hati, kekecewaan dan lain sebagainya – semuanya untuk membuat kita berkaca dan bertanya: siapakah yang selama ini menjadi Tuhan di dalam hidupmu?

Kesombongan yang Dikalahkan oleh Anugerah

Konsekuensi dosa yang Nebukadnezar alami, dimana ia menjadi seperti seekor binatang, mau menggambarkan betapa tidak berdayanya manusia memutarbalik keadaannya dengan kekuatannya sendiri. Mungkin orang yang percaya kepada karma akan menyindir Nebukadnezar, “Tuh rasain deh lu! Sombong sih, berani-beraninya nganggep diri lebih hebat dari Tuhan!” Dan kita harus mengakui bahwa sindiran itu ada benarnya.

Tetapi puji Tuhan cerita ini tidak berhenti di sana. Tuhan di dalam Alkitab bukanlah Tuhan penganut karma. Ia tidak sekedar membiarkan seseorang hancur. Ia adalah Tuhan sumber pengharapan. Ia adalah Tuhan sumber anugerah.

Betul Nebukadnezar sudah kehilangan segalanya. Tetapi justru di tengah-tengah itulah ia belajar mengenal bahwa Tuhan jauh lebih dalam dari keputusasaannya.

Sewaktu kita mengalami konsekuensi dosa kita, besar maupun kecil, mudah sekali bagi kita untuk merasa putus asa – seperti Nebukadnezar, kita merasakan diri kita bagaikan binatang buas yang hidup tanpa arah atau harapan.

Justru di sana-lah Tuhan berjumpa dengan kita. Keadaan kita yang terpuruk merupakan penunjuk jalan untuk mengarahkan mata kita kepada-Nya. Dan waktu kita melihat kepada salib Kristus, kita dapat melihat anugerah Tuhan terpampang dengan jelas.

Karena di dalam Alkitab ada seorang Raja yang lain. Mirip seperti Nebukadnezar, Ia berkuasa atas segala sesuatu – bahkan lebih lagi. Kekuasannya tidak saja meliputi negeri Babel, tetapi seluruh bumi dan tata surya. Raja ini pun pernah menggambarkan kerajaan-Nya sebagai sebuah pohon yang menaungi seluruh bumi (Lukas 13:19). Tetapi Ia tidak mengatakan,”Lihat, betapa hebat dan luasnya kerajaan-Ku!”. Beberapa tahun setelah mengartikan mimpi Nebukadnezar, Daniel mendapatkan penglihatan tentang Raja ini. Ia adalah Raja yang sangat berkuasa (Dan 7:13-14). Tetapi Ia adalah Raja yang akhirnya menyampingkan mahkota-Nya, turun serta merendahkan diri-Nya, membiarkan diri-Nya ‘disingkirkan’/dibuang dari tengah-tengah bangsa-Nya.

Di salib Kristus, baik Nebukadnezar, Presiden, Perdana Menteri, Gubernur, Anda dan saya berdiri sama rendah – karena di sana lah Raja yang sejati membayar dengan lunas harga yang seharusnya kita bayar karena mau merebut tahta-Nya.

Sudahkah Anda merenungkan betapa agungnya salib Kristus dimana tidak ada satu prestasi, reputasi, pencapaian, latar belakang, umur, posisi pelayanan apapun yang bisa kita banggakan? Yang kita hanya dapat banggakan dan muliakan adalah Dia yang telah mengalahkan kesombongan kita dengan anugerah-Nya.