SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Mengurai dan Mengenali Emosi

Takut. Marah. Rasa malu. Rasa bersalah. Sedih.

Bagi kebanyakan kita, emosi-emosi di atas nampaknya begitu nyata dan intens khususnya di masa-masa pandemi. Tentunya jauh sebelum COVID-19 pun kita sudah secara rutin mengalami beragam perasaan ini. Tidak sedikit dari kita yang hidupnya menjadi bulan-bulanan dari naik turunnya emosi kita, atau naik turunnya emosi orang-orang di sekitar kita.

Budaya kita secara umum punya dua pemahaman tentang emosi: Pertama, emosi adalah segala-galanya. Ini adalah pemahaman yang memberikan nilai terlalu tinggi pada emosi kita. Biasanya berfokus pada perasaan atau apa ‘kata hati’ kita. Di satu pihak, ini pemahaman yang tidak terlalu salah, karena setidaknya mengakui peran emosi di dalam hidup kita serta hubungannya dengan identitas diri kita. Kita merasa diperhatikan saat teman kita mengatakan, “Wah, aku baru tahu loh soal masalah ini. Bagaimana perasaanmu?” dan bukannya diceramahi atau disudutkan. Tetapi problem dari pemahaman ini adalah perasaan bisa menjadi faktor utama yang menentukan sesuatu itu benar atau salah. Kalau saya perhatikan ini yang sering terjadi di ranah publik belakangan ini, “Kalian pasti salah karena kata-kata kalian membuat kami marah!” Entah pendapat atau argumennya dibangun berdasarkan data dan fakta kelihatannya tidak lagi menjadi soal, karena perasaan pihak yang tersinggung jauh lebih berarti daripada apa yang sedang diperdebatkan.

Yang kedua, emosi itu tidak ada apa-apanya. Pemahaman ini justru memberikan nilai yang terlalu rendah pada emosi kita. Seringkali emosi dilihat sebagai musuh dari berpikir logis dan rasional. Sekali lagi, ini tidak terlalu salah juga, karena benar memang kadang ada waktunya untuk bertindak dan tidak mempedulikan perasaan kita (atau perasaan orang lain). Saya yakin kebanyakan kita tidak menikmati masa-masa lockdown di Victoria beberapa bulan terakhir ini. Tetapi kita harus mengakui bahwa kadang keputusan yang baik dan benar harus didukung dengan data dan fakta yang akurat, bukan sekedar perasaan kita pada saat itu. Suka atau tidak suka tidak tentu menjamin kebenaran atau kebodohan keputusan yang kita ambil. Walaupun demikian, problem dari pemahaman ini adalah mengabaikan kompleksitas emosi kita sebagai manusia serta peran penting perasaan dalam hidup kita.

Alkitab memberikan kerangka berpikir yang holistik tentang manusia. Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (lihat kitab Kejadian 1:26,27), adalah manusia yang sepatutnya mencerminkan esensi diri Tuhan Allah. Di dalam Alkitab berulang kali dikatakan bahwa Allah menunjukkan perasaan-Nya. Misalnya, “Empat puluh tahun Aku jemu (jijik, berdukacita) kepada angkatan itu, maka kata-Ku: "Mereka suatu bangsa yang sesat hati, dan mereka itu tidak mengenal jalan-Ku."” (Mazmur 95:10)—Ini adalah perasaan Allah terhadap bangsa Israel yang berulang kali memberontak kepada-Nya. Waktu Yesus berdiri di depan kubur sahabat-Nya, Lazarus, dikatakan Ia menangis akibat dukacita (Yohanes 11:35).

Dengan kata lain, iman Kristen melihat emosi sebagai ekspresi dari apa yang kita hargai, apa yang kita anggap bernilai, dan apa yang kita pedulikan. Kita mempunyai emosi karena Allah Pencipta kita juga punya emosi. Nah tentunya, berbeda dengan kita, emosi yang Allah tunjukkan (termasuk kemarahan dan dukacita-Nya) adalah emosi yang suci. Setiap aspek diri Allah—misalnya, kebenaran, kekudusan, kemahatahuan, kemahakuasaan-Nya—adalah satu kesatuan yang utuh.

Dalam natur kita yang berdosa, seringkali apa yang kita hargai, apa yang kita anggap bernilai, dan apa yang kita pedulikan, lebih berpusat pada diri atau kepentingan kita sendiri. Kita marah-marah waktu orang memotong jalan kita karena kita merasa lajur itu hak milik kita. Kita kecewa waktu pendapat kita tidak digubris di rapat karena kita mau menunjukkan betapa hebatnya ide kita. Kita menggerutu waktu anggota keluarga kita merepotkan kita untuk kesekian kalinya. Saat ‘aku dan kepentinganku’ menjadi pusat hidup kita, maka mudah sekali kita bereaksi dengan tidak sepatutnya.

Di dalam buku Untangling Emotions (Crossway, 2019), penulis Alasdair Groves dan Winston Smith memberikan beberapa panduan bagaimana kita bisa melibatkan emosi kita dengan baik:

  1. Menghadapi emosi. Kita perlu mengenali apa yang sedang kita rasakan saat ini. Kemudian kita perlu belajar memeriksa apakah perasaan kita tepat atau tidak pada tempatnya.

  2. Melibatkan Tuhan. Mazmur 62:9 mengatakan “Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita.” Tuhan tidak malu dengan perasaan kita, termasuk yang kacau dan tidak pada tempatnya sekalipun! Ia bahkan memberikan diri-Nya untuk menjadi tempat curhat dari segala perasaan kita yang campur aduk. Perasaan kita saat ini, apa pun itu, bisa menjadi jembatan untuk belajar percaya dan bersandar pada Tuhan—dan bukan pada emosi atau logika kita sendiri.

  3. Mengkoneksikan emosi. Kebanyakan emosi kita terjadi dalam relasi kita dengan orang lain. Berikut ini sejumlah contoh cara mengekspresikan emosi dengan sehat:
    • Keterbukaan: “Ini yang aku rasakan pada saat ini …”
    • Empati: “Bolehkah aku tahu apa yang kamu rasakan?”
    • Kesabaran: “Apakah benar kalau aku menyimpulkan bahwa ini yang sedang kamu rasakan?”
    • Keberanian: “Apa yang kita/kamu bisa lakukan untuk menghadapi situasi ini?”

  4. Memelihara emosi yang sehat. Manusia terbentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan. Kita bisa memulai (atau memulai kembali) beberapa kebiasaan yang membantu kesehatan emosi kita. Misalnya:
    • Membaca Alkitab. Membiarkan Firman Tuhan membentuk emosi kita: apa yang kita hargai, apa yang kita anggap bernilai, dan apa yang kita pedulikan.
    • Menggunakan emosi negatif yang baik. Misalnya: Belajar untuk meratap dan berdukacita terhadap dosa dan kerusakan di dunia ini, belajar untuk punya perasaan bersalah yang tepat akibat dosa dan kesombongan kita, belajar untuk marah yang baik terhadap kejahatan dan ketidakadilan.
    • Memperhatikan bagaimana Tuhan bekerja di dalam hidup orang lain.

  5. Mematikan emosi yang tidak sehat. Di sini kita berusaha untuk menghindari hal-hal seperti:
    • Aku adalah emosiku. Kita jauh lebih daripada sekedar perasaan kita.
    • Aku harus bertindak saat ini juga. Emosi kita bukan ukuran terbaik untuk mengambil keputusan.
    • Aku tidak boleh merasa seperti ini. Tuhan peduli dengan apa yang kita rasakan, Ia justru mendekat di tengah intensitas emosi kita.

Entah di tengah atau di luar masa pandemi, biarlah beragam emosi yang muncul justru mendekatkan kita satu sama lain dan dengan Tuhan yang mencipta dan mengasihi kita.

Kalau anda butuh bantuan konseling atau tertarik untuk mengenal Yesus dan iman Kristen lebih lanjut, dapat menghubungi kami melalui Whatsapp (+61 405 459 054), email info@icc-melbourne.org, atau media sosial Facebook/Instagram @iccmelbourne.

Artikel ini juga diterbitkan di majalah BUSET Vol. 15 (November 2020), dan dapat diakses di: https://www.scribd.com/document/483370782/BUSET-Vol-15-185-NOVEMBER-2020

Sumber: “Untangling Emotions” Alasdair Groves & Winston Smith (Crossway, 2019) – book and residential intensive notes