SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Bagaimana Bahtera Nuh Menunjuk kepada Injil Kristus

Bagaimana Bahtera Nuh Menunjuk kepada Injil Kristus

Hollywood memang bersalah dalam hal ini. Namun kesalahan yang lebih berat dilakukan mereka yang mengajar entah di atas atau dibawah mimbar. Baik film Hollywood maupun kotbah dan cerita sekolah Minggu tentang kisah Nuh selalu menyampaikan pesan utama sebagai berikut:

Kita harus menjadi seperti Nuh yang dicatat sebagai “seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah” (Kejadian 6:9). Dan jangan hidup seperti manusia lain di zaman Nuh yang “segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (6:5). Itulah sebabnya Nuh diselamatkan dari air bah, dan dipilih Allah untuk menjalankan sebuah mandat ilahi untuk mendaur ulang dunia.

Kanker Moralitas

Gereja bagaikan digerogoti kanker apabila jemaat diberi pesan moralitas seperti ini setiap Minggu. Jadilah seperti Nuh, jadilah seperti Abraham, Musa, Daud, Daniel, Yeremia, Amos, Paulus, bahkan Yesus!

Setiap kali pesan ini diberikan, mayoritas jemaat akan dilanda rasa takut karena merasa inferior: “Hari gini apa saya pernah bisa menjadi seperti Nuh?” Sisanya dilanda keangkuhan hati karena merasa superior “Minimal hidupku lebih mendekati Nuh dibanding orang lain di gereja.” Demikian fear dan pride menggerakkan dan menentukan kerohanian kita. Setiap pulang gereja, jemaat memikul kuk moralitas yang lebih berat dibanding saat mereka datang ke gereja.

Dimana Yesus dalam semua itu? Dua kemungkinan. Yesus hanyalah penguat, Red Bull, Extra Joss untuk mendorong kita menjadi lebih bermoral, lebih saleh, lebih rohani. Atau Ia menjadi teladan moral bila pesan utamanya “jadilah seperti Yesus” dan kuk kita menjadi lebih berat, “Kapan saya bisa kayak Yesus?”

Masalahnya pola ini terjadi dalam semua pelajaran moralitas dalam lingkup agama maupun luar agama, tidak hanya Kristen. Siddharta Gautama, Dalai Lama, Oprah Winfrey, Anthony Robbins, Mario Teguh, dan seterusnya. Anda tidak perlu ke gereja untuk mendapatkan pelajaran moralitas. Lagipula, kualitas pengkotbahnya jauh dibawah para motivational speaker di luar gereja!

Dibenarkan oleh Kasih Karunia

Pahlawan iman dalam kisah Nuh bukan Nuh. Salah kaprah bila kita diajar bahwa seluruh dunia dipenuh manusia jahat, hanya Nuh yang baik, maka Allah menyelamatkan dia. Nuh adalah orang berdosa, yang rentan terhadap kedagingan, dunia, dan Iblis. Lihat bagaimana ia mempersembahkan korban bakaran segera setelah air bah surut (8:20), dan tak lama kemudian ditemukan mabuk dalam kondisi telanjang (9:21). Pahlawan iman yang juga pemabuk telanjang?

Kisah Nuh menunjuk kepada Kristus. Demikian pula kisah Abraham, Musa, Daud, dan seterusnya. Kunci untuk mengerti seluruh kisah Nuh ada di pasal 6:8. Berikut sebuah pelajaran teologis yang dalam dan penting: Ayat ke-8 tersebut perlu dibaca sebelum ayat ke-9! “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN. Inilah riwayat Nuh. Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.”

Inilah pertama kali frase ‘kasih karunia’ muncul di Alkitab! Mengapa Nuh disebut ‘orang yang benar’? Karena ia mendapat kasih karunia Allah. Bukan karena ia bermoral. Bukan karena ia memiliki bibit moral yang baik. Tetapi karena dalam dunia yang sarat dosa, Allah dalam kedaulatanNya memutuskan untuk tidak menghakimi Nuh setimpal dengan dosanya, melainkan menyatakan kasih karuniNya. Ia disebut orang benar, karena Ia ‘dibenarkan’ oleh Allah.

Keselamatan dari Allah dari zaman ke zaman selalu sama. Kasih karunia yang berdaulat turun pada orang berdosa, diterima dengan iman, itu sebab orang berdosa dibenarkan dihadapan Allah. Tidak ada yang spesial tentang Nuh.

Yesus adalah Bahtera yang Menyelamatkan

Ketika Darren Aronfosky, sutradara film Nuh yang dirilis tahun 2014 dan dibintangi Russel Crowe, ditanya oelh wartawan mengapa ia memproduksi film tersebut, ia menjawab sebagai berikut: “Aku ingat waktu kecil sangat ketakutan mendengar cerita tersebut, bagaimana kalau aku tidak cukup saleh untuk bisa naik ke bahtera? Aku punya dosa. Apa aku bisa naik ke atasnya? Siapa yang layak naik ke sana?”

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan pergumulan batin Aronfosky. Tapi jawaban dari pergumulan itu jelas. Tak ada yang layak naik. Nuh tidak layak. Anda dan saya tidak layak. Namun kita dilayakkan oleh Yesus Kristus.

Bahtera Nuh itu menunjuk kepada Yesus Kristus. Kita diselamatkan di dalamNya dari derasnya air bah kemarahan Allah. Yesus Kristus tenggelam dalam lautan kemarahan Allah supaya kita diselamatkan darinya. Sama seperti Nuh keluar dari bahtera tersebut untuk memulai ciptaan baru, demikian pula Yesus bangkit dari kematian untuk memulai umat yang baru, yaitu gerejaNya.

Kalau Nuh yang pemahamannya sangat terbatas tentang Allah lalu berespon dengan ketaatan yang penuh menjalankan mandat Allah, bukankah Anda dan saya yang mengecap Allah dalam Kristus yang tersalib seharusnya lebih serius hidup bagi dan hanya bagi Dia?