SUNDAY SERVICE: 9:30AM English; 11:00AM Indonesian

Injil dan Sikap Menghakimi

Sebagai makhluk sosial, kita mau tidak mau selalu tergoda untuk membandingkan diri dengan orang lain, bahkan mengukur nilai diri kita baik secara material, relasional, atau spiritual dengan referensi orang lain. Tidak heran kita mudah terjebak menghakimi orang lain.

Menghakimi tentu berbeda dengan menegur. Yang pertama dilarang oleh Alkitab, yang kedua diperintahkan Alkitab. Sering karena kita kuatir dipersepsi sebagai sok menghakimi, kita tidak menegur dengan kasih saudara seiman kita yang sedang berdosa terhadap Tuhan.

Disisi lain, saat kita menegur orang lain, itu muncul bukan dari hati yang mengasihi, tapi hati yang menghakimi. Itu sebab penting sekali kita mengerti beda menghakimi dan menegur.

Ada 3 level kita menghakimi orang lain dan tiga konsekuensi yang berbeda. Pertama, menghakimi seseorang di depan mukanya; menyakiti hati orang tsb. Ini jarang terjadi di antara orang Indonesia karena akan budaya sungkan lebih kuat dibanding budaya menghakimi secara blak-blakan.

Level kedua: Menghakimi seseorang dalam hati kecil kita; menumpulkan hati nurani. Ini yang hampir secara otomatis kita lakukan dalam hitungan detik. Misal, Anda janjian dengan teman untuk meeting tugas kuliah jam 9am. Teman tsb datang jam 9:15pm. Anda langsung berpikir dalam hati “Dasar dia memang tukang telat! Orang males kayak gini gak bakal bisa bertanggung jawab!”

Jika kita tidak menyadari pola berpikir kita yang sedemikian, kita akan selalu memandang orang lain lebih rendah dari kita, sulit menghargai orang lain, dan menganggap diri selalu superior. Nuranimu kemudian tumpul karena tidak lagi peka akan perasaan dan keadaan orang lain. Menganggap teman Anda yg telat tsb sebagai orang malas lebih memberi Anda kelegaan ketimbang harus susah-susah menanyakan, apalagi menolong apa yg menyebabkan dia telat (mungkin baru ribut di telpon dengan orang tua, mungkin kesulitan tidur semalam krn stress ujian, dst.)

Level ketiga: Menghakimi seseorang saat berdoa dalam hati, memuakkan hati Tuhan. Orang yang suka menghakimi lalu menjadi seorang Kristen hanya sebagai tindakan agama (atau Katolik, Hindu, Budha, dst.), akan memperparah kondisinya. Mengapa? Karena hobby menghakimi tsb sekarang dibaptis dalam religiusitas. Contoh peng-rohani-an sikap menghakimi itu paling jelas terlihat dalam cerita Tuhan Yesus dalam Lukas 18.

"Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini..." (Lukas 18:11). Ayat dahsyat ini memberitahu betapa licik hati manusia, lebih licik dari segala sesuatu. Ini bukan menggelikan, tapi mengerikan! Justru karena kita beragama, kami sekarang menghakimi sesama dalam doa-doa kita.

Tak heran kita tidak mendapatkan apa yang kita minta dalam doa, karena kita salah berdoa. Kata-kata doa yg keluar dari mulut kita berasal dari hati yang siang-malam menjadi pancuran bau busuk. Agama yang katanya mampu mengobati hati tersebut, justru menambah kebusukannya. Apa yang mampu memperbaruinya, kalau bukan Injil Kristus Yesus.

Ikuti ulasan lebih jauh tentang Injil dan Sikap Menghakimi di kotbah ICC Minggu 8 Des.